Catatan Kritis Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah
Pasca amandemen
UUD 1945, fondasi ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat
fundamental. Salah satunya munculnya suatu lembaga baru dalam sistim perwakilan
rakyat (parlamen) yakni Dewan Perwakilan Daerah atau DPD. Secara filosofis, kehadiran DPD sebagai salah
satu lembaga perwakilan selain Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat dilepaskan
dan merupakan tuntutan dari terselenggaranya sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang lebih mengedepankan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Kehadiran Dewan Perwakilan Daearah (DPD) sebagai lembaga baru hasil perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan konsekuensi
dari perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sekaligus sebagai upaya untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham
kedaulatan rakyat yang selama ini berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 ini pun dengan sendirinya menegaskan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
bukan satu-satunya yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Rumusan Pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: ”Kedaulatan
adalah di tangan rakyat, dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”,
Penegasan ini dimaksudkan bahwa kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya
diserahkan kepada badan/lembaga yang keberadaan, wewenang, tugas dan fungsinya
ditentukan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta
bagian mana yang langsung dilaksanakan oleh Rakyat. Dengan kata lain,
pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak diserahkan kepada badan/lembaga mana pun,
tetapi langsung dilaksanakan oleh rakyat itu sendiri melalui pemilu.
Implementasi
dari pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat di atas, maka dilakukan dalam bentuk
pemilihan langsung Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Hal ini dapat dilihat dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B
yang memberikan penekanan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan
pusat dan daerah dilaksanakan dengan sistem otonomi luas. Untuk menjaga dan
menindaklanjuti kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di pusat, maka
diperlukan lembaga yang memiliki eksistensi dan kedudukan serta fungsi yang
dapat menjembatani kepentingan daerah. Keberadaan DPD itu sendiri adalah
merupakan salah satu upaya restrukturisasi kelembagaan MPR terkait dengan
tuntutan otonomi daerah.
Implementasi
Kedaulatan Rakyat Dan Upaya Mendorang Demokratisasi
Dalam kebanyakan literatur, secara
sederhana demokrasi dapat difahami sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh
rakyat dan untuk dakyat. Dengan demikian demokratisasi dapat diartikan sebagai
suatu proses yang mengarahkan agar pemerintahan yang sedang berjalan
secara sensitif dapat menangkap aspirasi, melibatkan partisipasi, dan
mengutamakan kepentingan rakyat dari pada kepentingan penguasa. Rakyat ditempatkan
sebagai domain utama dalam pengertian demokrasi karena pada dasarnya
mereka (rakyat) adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara.
Secara lebih dalam, berbicara tentang demokrasi pada dasarnya tidak hanya
mengenai teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan
pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang bagaimana cara terbaik
membangun pemerintahan
Dengan hadiranya
DPD seyogyanya diharapkan akan mampu untuk menjembatani berbagai kebutuhan dan
kepentingan politik daerah di pusat yakni dalam hal pelaksanaan otonomi daerah
dengan memperhatikan asas otonomi dan tugas pembantuan, olehnya itu maka dengan
dibentuknya DPD, maka paling tidak diharapkan pertama memperkuat ikatan
daerah-daerah dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh
persatuan kebangsaan seluruh daerah; kedua, meningkatkan agregasi dan
akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan
nasional berkaitan dengan negara dan daerah; ketiga mendorong percepatan
demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang. Berangkat
dari prespektif itulah, maka terlihat bahwa keberadaan daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (5) berjalan sesuai dengan keberagaman daerah dalam rangka
kemajuan bangsa dan negara serta merupakan landasan filosofis yang memberikan
kerangka yuridis pembentukan lembaga DPD
Sesuai dengan
UUD 1945, bahwa kekuasaan Negara Kesatuan Republik Indoneia diselenggarakan
berdasarkan kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan
demokrasi, perlu dibentuk lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat guna
menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, dan mampu memperjuangkan kepentingan
rakyat dan daerah secara adil dan beradab. Sesuai dengan perkembangan politik
bangsa, maka dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain menghapus keanggotaan
MPR, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Sebagai kosekuensi amandemen tersebut,
untuk, mewujudkan kedaulatan rakyat dibentuk lembaga Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang anggotanya terdiri atas Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum
(pemilu).
Butuh Kerendahan
Hati Penguasa
Ditengah –
tengah tuntutan serta krisis kepercayaan terhadap berbagai kebijakan pemerintah
dan wakil rakyar terhadap sistim pemerintahan dan pelaksanaan otonomi daerah,
sah – sah saja jika kemudian desakan untuk membentuk perwakilan daerah dalam
parlamen guna menjembatani kepentingan lokal daerah semakin kuat mengalir,
sehingga berbagai kebijakan politik negara akan dapat memperhatikan berbagai
aspirasi dan kepentingan daerah. Walaupun disadari pula bahwa pembentukan DPD
belum sepenuhnya maksimal, namun hal ini harus pula dilihat sebagai bentuk
kerendahan dari dari penguasa (pemerintah).
Secara teoritis,
berdasarkan hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, maka dengan kehadiran DPD telah mewujudkan sistem perwakilan dua kamar
(bikameral) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Terhadap hal tersebut di
atas, maka menimbulkan ketidakpastian secara yuridis berkaitan dengan sistem
perwakilan dua kamar (bikameral). Padahal gagasan pembentukan DPD adalah
merupakan upaya merestrukturisasi parlemen di Indonesia dengan sistem
bikameral. Hal ini pula yang menimbulkan pertanyaan secara berkaitan dengan
kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22C dan
Pasal 22D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengaturan
dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Dewan Perwakilan
Daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Secara umum terlihat bahwa hasil
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kehadiran
DPD telah mewujudkan sistem perwakilan dua kamar (bikameral) dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Terhadap hal tersebut di atas, maka menimbulkan
ketidakpastian secara yuridis berkaitan dengan sistem perwakilan dua kamar
(bikameral). Padahal gagasan pembentukan DPD sebagai upaya restrukturisasi
parlemen di Indonesia dengan sistem bikameral. Hal ini pula yang menimbulkan
pertanyaan secara berkaitan dengan kedudukan DPD dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, DPD memiliki kedudukan yang
tidak jelas. Apalagi pengaturan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif
dan sangat sumir sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E
ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2) ataupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
DPD sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan
pertimbangan, usul, ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan,
baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan. Kewenangan DPD berkaitan dengan
penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun
menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan
daerah dan sebagai lembaga bargainning terhadap kemungkinan pertimbangan DPD
yang tidak dilanjuti oleh DPR.
Apalagi rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan
kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD dengan menggunakan hak veto,
sebagaimana dipraktekkan dalam sistem perwakilan bikameral. Hal inilah yang
mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan
saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya sebagai lembaga
yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR. Sementara itu, tidak ada cheks
and balance system, dalam lembaga perwakilan rakyat. DPR memiliki kekuasaan
legislatif yang penuh, sementara DPD
tidak memiliki hak yang penuh untuk mengusulkan bahkan dalam mengajukan
RUU. Dalam prespektif itulah DPD hanyalah sebagai pelengkap derita dan
aksessoris demokrasi dalam konteks lembaga legislatif. Kepincangan ini
merupakan konstruksi politik yang sudah tertera secara yuridis dalam konstitusi
kita. Jadi bagaimanakah demokrasi dalam badan legislatif akan dilaksanakan
tanapa cheks and balance ? demokrasi yang pincang merupakan kosekuensi
dari seting yang demikian hal ini menunjukan political will yang setengah hati
dalam pembangunan demokrasi di Indonesia. Hal ini, oleh Ginandjar kartasasmita
untuk membangun peran DPD yang seyogyanya itu, haruslah mengamandemen Pasal 22D
UUD 1945 yakni dalam hal penegasan mengenai sistim dua kamar (bikameral) dan parlamen guna memperjelas posisi daerah
dalam struktur ketatanegaraan. Dalam hal ini adalah kritik keras atas deviasi
struktur bikameral kita yang dianggap lemah (weak bicameralism).

Assalamualaikum wr,wb... saya mengucapkan banyak2 terimakasih kepada MBAH SUGANDRI atas nomor togelnya yang. di berikan angka sgp RABU 12 FEBRUARI 2014 4D [1648 ] alhamdulillah ternyata itu benar2 tembus dan berkat bantuan"MBAH SUGANDRI" saya bisa melunasi semua hutan2 orang tua saya yang ada di BANK BRI dan bukan hanya itu Mbah Alhamdulillah sekarang saya sudah bisa bermodal sedikit untuk mencukupi kebutuhan keluarga saya sehari2. itu semua berkat bantuan Mbah.sekali lagi makasih banyak Mbah.yang ingin merubah nasib seperti saya hubungi "Mbah Sugandri" di nomor {{_0853_8812_5472_}} Terimakasih'Wassalam...
BalasHapus